Pages

Thursday 4 November 2010

Jinayat


Kata “jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata “jinayah”, yang berasal dari “jana dzanba, yajnihi jinayatan” (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً), yang berarti melakukan dosa.
Sekalipun merupakan isim mashdar (kata dasar), tetapi kata “jinayat” dipakai dalam bentuk jamak, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa, karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak. Kata ini juga berarti menganiaya badan, harta, atau kehormatan.
Adapun menurut istilah syariat, jinayat (tindak pidana) artinya menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qisas, atau membayar diyat atau kafarah.

Ghanimah, Fa’i, Salab

Ghanimah
Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu usaha. Menurut istilah, ghanimah berarti harta yang diambil dari musuh Islam dengan cara perang. Bentuk-bentuk harta rampasan yang diambil tersebut bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, dan tawanan perang.
Dilihat dari sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak jaman sebelum Islam. Hasil peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan kepada pasukan yang ikut perang tersebut, dengan bagian terbesar untuk pemimpin.
Fa’i
Al-Fai' menurut istilah para ulama ahli fiqih adalah harta orang-orang kafir yang diambil dengan alasan yang haq (benar) tanpa melalui pertempuran. Seperti harta (Orang kafir) ini, di mana mereka lari dan meninggalkannya karena takut kepada kaum muslimin. Harta ini dinamakan fai', karena harta ini berpindah dari tangan orang-orang kafir yang tidak berhak, kepada kaum muslimin yang lebih berhak dan hukumnya berlaku secara umum.
Salab
As-salab adalah barang berupa pakaian, senjata, dan sebagainya yang diperolaeh dari serdadu musuh yang berhasil dibunuhnya dimedan perang dan di dapat tanpa paksaan.


Sumber:

Pembunuhan:

1. Tidak disengaja : Seseorang sengaja menembak hewan buruan yang diperbolehkan untuk dibunuh dan dia telah menempatkan senjatanya tepat pada sasarannya, namun ternyata meleset membunuh orang.  

2.  Disengaja : Membunuh dengan senjata tumpul, seperti dengan cara memukulkan batu besar dan sejenisnya. Apabila batunya kecil, maka bukan termasuk pembunuhan dengan sengaja, kecuali bila dipukulkan kebagian anggota tubuh yang mematikan, atau dalam keadaan lemahnya korban seperti sakit, kecil, dan sejenisnya, atau memukulnya dengan berulang-ulang hingga mati. Termasuk juga pembunuhan dengan al-mutsaqqal adalah menimpakan tembok ke orang lain dan menabrakkan mobil ke tubuh korban.
     
     3.  Seperti sengaja : Seorang memukul orang lain di bagian yang tidak mematikan, dengan menggunakan cambuk atau tongkat, atau menonjok dan meninju dengan tangannya, di daerah yang tidak mematikan. Lalu, ternyata orang yang dipukul tersebut mati.

Sumber:

Monday 4 October 2010

ILMU DHORURI DAN ILMU MUHTASAB

ILMU DHORURI
yaitu: ilmu yang masih bisa berubah hukumnya

asal kata: dlorro-yudlorru-dloriiron
يضر

contoh kasus: babi haram, tetapi bisa menjadi halal bila dalam keadaan dlorurot.

dalil Naqli: Al Maidah 3

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3)
Artinya:

3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[394]. Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.

[395]. Maksudnya ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.

[396]. Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. Orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi.

[397]. Yang dimaksud dengan hari ialah: masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.

[398]. Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
ILMU MUHTASAB
yaitu: ilmu yang sudah baku hukumnya

asal kata: hasaba

contoh kasus: qishaash, (hukuman bagi pendosa)


Dalil naqli: An Nuur 2

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ (2)
Artinya:
2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Monday 2 August 2010

TAHSIN AL-QUR’AN

Pemberian harakat (Nuqath al-I’rab)

Sebagamana telah diketahui, bahwa naskah mushaf usmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat Bantu baca yang berupa titik pada huruf dan harakat yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf dalam al-Qur’an langkah ini sengaja ditempuh oleh khalfah Usman ra dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim keberbagai wilayah, semaunya pun diterima langkah tersebut, lalu kaum muslimin melalukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut, terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penamaan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlasung selama kurang lebih empat puluh tahun lamanya.

Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembuakaan wilayah-wilayah baru. Konsekowensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non arab yang kemudian masuk kedalam Islam, disamping tentu saja meningkatkan interaksi muslimin arab dengan orang-orang non arab muslim ataupun non muslim. Akibatnya, al-ujma (kekeliruan) dan al-lahn (kesalahan) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non arab, namun juga dikalangan muslimin arab sendiri.

Hal ini kemudian menjadi sumber kekwatiran tersendiri dilakalangan kaum mmuslimin sendiri. Terutama karma mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat Bantu baca berupa titik dan harakat.

Dalam beberapa refrensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap muzhab Al-Qur’an adalah Ziyad bi Abihi, salah seorang gubernur yang di angkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilyah Basrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu di awali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk mengahadap Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu Ziyad pun menulis surat kepada Abu-al_qur’an Aswad al-Du’aly.

Sesungguhnya orang-orang non Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tuga itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk menunggu dijalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat dijalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya” ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik” (al-Taubah: 3)

Tetapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rusulihi”. Bacaan itu didengankan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin ia terlepas diri dari Rasul-Nya1” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-I’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca Al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman. Abu al-Aswad pun memerikanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.

Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, da ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudoan menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakan di bagian atas huruf). Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan system titik yang berbeda. System titik yang digunakan penduduk Mekkah misalnya berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi system mereka). Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW.

Satu hal lagi yang perlu disebutkan disini bahwa beberapa peneliti seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. ‘Izzat Hassan menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi mengutip al-A’zhamy- yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:

Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, disana tidak ada metode tanda diakritikal Bahasa Syriak tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun system tanda titiknya.).

Yakub (Yakob?) Raha sendiri menurut B.Davidson, menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ke 7, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke 8. bila dihitung, akhir abad ke-7 M itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad ke-8 sama dengan tahun 184 H. sementara Abu al-Aswad al-du’aly penemu tanda diakritikal Bahasa Arab meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). ditambah lagi, seperti yang dicontohkan oleh B. Davidson system diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du’aly.

Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bi Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan sendiri pada tahun 194 H (810 M), smentara Sibawaih, tokoh besar tata bahasa arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncah dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberi pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka.

Sunday 1 August 2010

Ushul Fiqh






Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.
Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a.
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b.Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c.Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d.Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e.Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f.Masalah ra'yuijtihadittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g.Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h.Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiqilmu tafsirilmu haditstarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
Dengan Usul Fiqh :
-Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
-Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
-Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
-Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadiMujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.
Sumber:



Ilmu Fiqh



(Ar:
al-figh = paham yang mendalam). Salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.
Ada beberapa definisi fiqh yang dikemukakan ulama fiqh sesuai dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya, Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Fiqh di zamannya dan di zaman sebelumnya masih dipahami secara luas, mencakup bidang ibadah, muamalah danakhlak. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas, ulama ushul fiqh mendefinisikan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci. Definisi tersebut dikemukakan oleh Imam al-Amidi, dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang.
Ulama usul fiqh menguraikan kandungan definisi ini sebagai berikut:
1.Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah (az-Zari'ah);
2.Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah, yaitu Kalamullah/Kitabullah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah untuk berbuat, larangan, pilihan, maupun yang lainnya. Karenanya, fiqh diambil dari sumber-sumber syariat, bukan dari akal atau perasaan;
3.Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah. Atas dasar itu, hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk fiqh, karena fiqh adalah hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh dari proses istidlal atau istinbath (penyimpulan) dari sumber-sumber hukum yang benar; dan
4.Fiqh diperoleh melalui dalil yang tafsili (terperinci), yaitu dari Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, qiyas, dan ijma' melalui proses istidlal, istinbath, atau nahr (analisis). Yang dimaksudkan dengan dalil tafsili adalah dalil yang menunjukkan suatu hukum tertentu. Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 43: "..... dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat....." Ayat ini disebut tafsili karena hanya menunjukkan hukum tertentu dari perbuatan tertentu pula, yaitu shalat dan zakat adalah wajib hukumnya. Dengan demikian menurut para ahli usul fiqh, hukum fiqh tersebut tidak terlepas dari an-Nusus al-Muqaddasah (teks-teks suci). Karenanya, suatu hukum tidak dinamakan fiqh apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal atau istinbath kepada salah satu sumber syariat.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Fathi ad-Duraini (ahli fiqh dan usul fiqh dari Universitas Damascus), fiqh merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah dan metode usul fiqh. Sedangkan istilah fiqh di kalangan fuqaha mengandung dua pengertian, yaitu:
1.Memelihara hukum furu' (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya; dan
2.Materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qath'i (pasti) maupun yang bersifatdzanni (relatif) (Qath'i dan Zanni).
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa (ahli fiqh dari Yordania), fiqh meliputi:
1.
Ilmu tentang hukum, termasuk usul fiqh; dan
2.


Kumpulan hukum furu'.

Sumber:

http://www.fiqhislam.com/index.php/as-sunnah/ushul-fiqih?layout=blog&start=10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...