TAHSIN AL-QUR’AN
Pemberian harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagamana telah diketahui, bahwa naskah mushaf usmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat Bantu baca yang berupa titik pada huruf dan harakat yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf dalam al-Qur’an langkah ini sengaja ditempuh oleh khalfah Usman ra dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim keberbagai wilayah, semaunya pun diterima langkah tersebut, lalu kaum muslimin melalukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut, terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penamaan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlasung selama kurang lebih empat puluh tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembuakaan wilayah-wilayah baru. Konsekowensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non arab yang kemudian masuk kedalam Islam, disamping tentu saja meningkatkan interaksi muslimin arab dengan orang-orang non arab muslim ataupun non muslim. Akibatnya, al-ujma (kekeliruan) dan al-lahn (kesalahan) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non arab, namun juga dikalangan muslimin arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekwatiran tersendiri dilakalangan kaum mmuslimin sendiri. Terutama karma mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat Bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa refrensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap muzhab Al-Qur’an adalah Ziyad bi Abihi, salah seorang gubernur yang di angkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilyah Basrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu di awali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk mengahadap Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu Ziyad pun menulis surat kepada Abu-al_qur’an Aswad al-Du’aly.
Sesungguhnya orang-orang non Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.
Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tuga itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk menunggu dijalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat dijalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya” ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik” (al-Taubah: 3)
Tetapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rusulihi”. Bacaan itu didengankan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin ia terlepas diri dari Rasul-Nya1” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-I’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca Al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman. Abu al-Aswad pun memerikanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, da ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudoan menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakan di bagian atas huruf). Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan system titik yang berbeda. System titik yang digunakan penduduk Mekkah misalnya berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi system mereka). Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan disini bahwa beberapa peneliti seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. ‘Izzat Hassan menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi mengutip al-A’zhamy- yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:
Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, disana tidak ada metode tanda diakritikal Bahasa Syriak tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun system tanda titiknya.).
Yakub (Yakob?) Raha sendiri menurut B.Davidson, menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ke 7, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke 8. bila dihitung, akhir abad ke-7 M itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad ke-8 sama dengan tahun 184 H. sementara Abu al-Aswad al-du’aly penemu tanda diakritikal Bahasa Arab meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). ditambah lagi, seperti yang dicontohkan oleh B. Davidson system diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du’aly.
Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bi Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan sendiri pada tahun 194 H (810 M), smentara Sibawaih, tokoh besar tata bahasa arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncah dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberi pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka.
No comments:
Post a Comment